“Itu apa Bi?” “Itu
lampu minyak, Sayang.” “Kok pakai lampu minyak kenapa Bi?” “Karena
listrik mati.” “Listriknya kok mati kenapa toh Bi?” “Ya…mungkin karena
tadi ada hujan deras.” “Kok tadi ada hujan deras kenapa Bi?” “Tadi di
langit kan ada awan hitam, awan itu sekumpulan air, kalau turun jadi
hujan.” Bla…bla…bla….Demikianlah pertanyaan si kecil bagai tak ada
habisnya. Abinya pun dengan sabar menjawab pertanyaan putri sulungnya.
Rasa Ingin Tahu, Jangan Dimatikan
Rasa Ingin Tahu, Jangan Dimatikan
Anak-anak
berusia 2-5 tahun memang seringkali mengajukan banyak pertanyaan kepada
orangtua atau pengasuhnya. Pertanyaan mereka biasanya tidak jauh dari
apa yang mereka temui, amati atau rasakan. Yang mendorong mereka
mengajukan pertanyaan adalah besarnya rasa ingin tahu mereka terhadap
segala sesuatu.
Sebenarnya, kita
semua memiliki bekal rasa ingin tahu ini semenjak lahir. Kehebatan rasa
ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan, dan
bicara. Selanjutnya, rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas
perkembangan otak mereka. Sayangnya, orangtua banyak melakukan
intervensi negatif sehingga naluri penting ini terkubur dalam-dalam
Seringkali
orangtua tak mau menjawab pertanyaan anak-anaknya yang menurut mereka
terdengar konyol, lugu, dan seperti dibuat-buat. Seakan tak ada gunanya
kalaupun orangtua mau repot-repot menjawabnya. Hal ini menjadikan anak
belajar untuk mematikan rasa ingin tahunya. Setelah
pertanyaan-pertanyaannya tak pernah dijawab, anak pun jadi malas untuk
bertanya lagi, dan jadi tak peduli pada segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya. Tindakan orangtua yang mematikan rasa ingin tahu anak itu
sungguh tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak
anak.
Sebagian kecil orangtua
memang ada yang sangat mendukung perkembangan intelektual anaknya.
Mereka bukan hanya menjawab pertanyaan anak, tetapi juga berusaha
melakukan sesuatu untuk semakin menumbuhkan rasa ingin tahu sang anak.
Mereka mendorong anak untuk bertanya dan terus bertanya, hingga anak
sendiri yang kehabisan pertanyaan. Untuk itu, para orangtua ini
menyediakan waktu sebanyak mungkin, karena mereka tahu, sepatah kata
jawaban bisa menjadi sangat berarti bagi perkembangan sel saraf otak
anak.
Perlu Kesabaran
Orangtua
yang tidak sabaran, mungkin cuma diam atau menjawab ‘tidak tahu’ saat
ditanya sang anak. Kadang, pertanyaan anak malah dijawab dengan
bentakan, “Sudah diam! Jangan tanya-tanya terus. Ibu capek.”
Memang
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak itu diperlukan kesabaran, di
samping perhatian dan kepandaian dalam menjawab. Seorang ibu yang sudah
disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah
menghadapi seribu satu macam pertanyaan anaknya. Demikian juga dengan
sang ayah yang sudah bekerja seharian mencari nafkah. Rasa lelah itu
bisa menghilangkan mood untuk sekadar menjawab sang anak.
Bukankah
jika kita menyatakan siap punya anak, secara otomatis kita juga harus
siap ‘direpoti’? Adalah salah besar jika hanya karena alasan sibuk atau
capek, lalu orangtua mematikan rasa ingin tahu sang anak. Sebisa
mungkin, walau sedang sibuk bekerja, kita tetap berusaha memberi
perhatian pada anak. Sambil memasak, seorang ibu bisa menjawab
pertanyaan anak. Sambil membersihkan rumah pun bisa terus mengobrol
dengan mereka.
Sekali lagi, dalam
hal ini memang dibutuhkan kesabaran tinggi. Dalam menjawab pun kita
harus menunjukkan perhatian, yang bisa ditampakkan lewat mimik muka dan
cara menjawab dengan nada bersungguh-sungguh.
Jawablah dengan Benar
Orangtua
tak perlu memberikan jawaban panjang atau berbelit-belit, sehingga
malah sulit dimengerti anak. Cukuplah menjawab pertanyaan anak dengan
jawaban pendek dengan bahasa yang disesuaikan dengan pemahaman anak.
Jangan pernah menjawab pertanyaan anak dengan sembarangan. Jika
menjawab, jawablah dengan benar. Jika orang tua tidak tahu jawaban yang
benar, tak usah mencoba berbohong. Lebih baik katakan tidak tahu, dan
cobalah menerangkan di lain waktu bila jawabannya sudah didapat.
Sebagaimana contoh kasus di awal tulisan ini, Abu Asma’ berusaha
menjawab pertanyaan putrinya dengan jawaban-jawaban pendek yang mudah
dipahami.
Beruntunglah anak bila
orangtuanya selalu berusaha menjawab pertanyaannya dengan benar. Selain
bisa memuaskan hatinya, jawaban itu juga akan menambah pengetahuan dan
wawasannya. Sayangnya, tak sedikit orangtua yang suka memberikan jawaban
tidak benar pada anak. Misalnya saat Hasan (5) bertanya pada ibunya
tentang gempa yang menyebabkan genting-genting di rumahnya melorot ke
bawah. “Kok terjadi gempa kenapa Bu?” “Karena ada raksasa besar yang
mengamuk di dalam laut, jadi bumi bergoncang.” Mungkin jawaban tersebut
bisa diterima oleh daya imajinasinya, akan tetapi jawaban itu tidak
menambah perbendaharaan pengetahuannya. Jawaban semacam ini sangat tidak
bermanfaat, dan harus dijauhi oleh para orangtua. Seharusnya pertanyaan
Hasan bisa dijawab, “Gempa itu penyebabnya bisa bermacam-macam. Salah
satunya karena ada gunung meletus di daratan atau lautan, jadi bumi
bergoncang.” Jika Hasan masih penasaran dengan sebab-sebab gempa
lainnya, ibu bisa mencarikan referensi, misalnya buku atau majalah yang
membahas tentang gempa, untuk dibacakan atau dibaca sendiri oleh Hasan.
Kemampuan Otak Balita
Mungkin
kita mengira, anak-anak balita itu selain lugu juga tak tahu apa-apa
tentang alam semesta kehidupannya. Tapi adalah kesalahan besar jika kita
menganggap mereka bodoh, karena mereka mempunyai daya tangkap dan daya
ingat yang jauh lebih hebat dari yang kita pikirkan. Dari sekian banyak
pertanyaannya yang dia ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan
direkam baik-baik dalam otaknya. Ya, balita memang memiliki kemampuan
menangkap pengetahuan dengan hebat, karena otak mereka belum dipengaruhi
untuk memikirkan hal-hal lain.
Sebuah
pertanyaan saja, bagi anak ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran di
sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka jawabannya akan
sangat berarti untuk mengasah ketajaman otaknya.
Yang
perlu dikhawatirkan justru kalau anak terlalu pendiam, dan tidak ingin
tahu banyak tentang segala sesuatu. Ia tidak pernah bertanya, dan tidak
tertarik dengan adanya benda baru. Anak seperti ini harus ‘dipancing’
untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Orangtua bisa memulai dengan
mengajukan pertanyaan, “Azmi, mengapa kalau siang tampak terang dan
malam tampak gelap?” Atau, “Kamu dan ayam sama-sama punya kaki. Mengapa
kamu bisa menendang bola, ayam tidak?” Dengan pertanyaan menarik
diharapkan anak akan terangsang, kemudian menanyakan segala sesuatu.
Makin sering orangtua memancing dengan berbagai pertanyaan menarik,
tentu anak akan meniru tindakan orangtua.
Untuk
mengembangkan kemampuan anak bertanya, bimbinglah anak untuk
mempraktikkan kunci utama pertanyaan, yaitu 5W+1H. Yang dimaksud 5W+1H
adalah what (apa), when (kapan), where (di mana), who (siapa), why
(mengapa) dan how (bagaimana)
Selain
itu orang tua juga bisa menyediakan buku bacaan atau majalah islami
untuk anak-anak. Melihat gambar-gambarnya yang menarik dan
berwarna-warni, bisanya anak-anak akan tertarik untuk mempertanyakan apa
yang ia lihat. Jika anak tetap belum banyak bertanya seperti yang kita
harapkan, maka orangtua yang harus aktif menyakan segala sesuatu tentang
gambar-gambar atau kisah di buku tersebut. Yang mesti disadari, proses
ini membutuhkan waktu dan memerlukan kesabaran. Semoga kita memiliki
putra-putri yang shalih dan pintar.

0 komentar:
Posting Komentar